Analisis Wawancara : Vaksin Bukan Ditolak, tapi Dipertanyakan.


Tulisan yang dimuat pada majalah Tempo edisi 30 September 2018 dengan judul “Vaksin Bukan Ditolah Tapi Dipertanyakan” ini memuat informasi mengenai keberadaan Vaksin MR yang dipertanyakan kehalalannya oleh masyarakat, pasalnya vaksin tersebut bukanlah dari Indonesia melainkan diambil dari luar negeri yang belum sah berlabel halal dari MUI. Setelah dimintai keterangan, benar saja bahwa vaksin tersebut positif mengandung babi yang merupakan unsur yang haram bagi orang Indonesia kebanyakan, khususnya kaum muslim. Untuk menggali lebih dalam mengenai vaksin yang ramai dibicarakan pada masyarakat ini, seorang jurnalis tempo melakukan wawancara langsung kepada Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian kesehatan yaitu bapak Anung Sugihantono. Wawancara yang dilakukan oleh seorang jurnalis Tempo yang bernama Devy Ernis tersebut dimuat langsung dalam majalah dengan layout pertanyaan dan jawabannya.



Seacara keseluruhan, pertanyaan yang diajukan mengandung unsur 5W+1H, pertanyaan-pertanyaannya merajuk untuk menanyakan apa, dimana, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana. Walaupun dalam setiap pertanyaan tidak semua diawali dengan kata pertanyaan 5W+1H namun dapat disimpulkan bermakna yang sama. Contohnya, pertanyaan “Bio Farma selaku importir tidak meminta produsen mengurus sertifikasi halal ke MUI?” memuat maksud “mengapa”. Hal ini yang membuat beberapa pertanyaan rancu, kurang tegas dan agak berbelit. Lebih baik langsung menanyakan secara tegas “Mengapa selaku importir Bio Farma tidak meminta produsen untuk melakukan sertifikasi halal?” pertanyaan ini lebih jelas maknanya untuk menanyakan keterangan lebih lanjut dan alasan, sehingga tidak lagi membingungkan. Hal yang membingungkan lagi, wartawan tersebut justru tidak memberikan pertanyaan melainkan pernyataan yang akan memberikan arti yang rancu pada pembaca, contohnya “status kehalalan merupakan sesuatu yang urgen di Indonesia” yang bisa dibilang ambigu, walaupun begitu, narasumber masih dapat mengerti apa maksudnya sehingga pernyataan itu sah saja walaupin lebih baik langsung ditanyakan secara lebih jelas dan tegas “bagaimana pengaruh vaksin tersebut dengan kondisi di Indonesia yang menganggap status kehalanan merupakan sesuatu yang urgen?” yang akan membawa pembaca lebih mudah dalam mengerti makna pertanyaannya.
Setelah itu pertanyaan yang diajukan lebih lama lebih mandalam dan terlihat pertanyaan-pertanyaan yang memang mewakili masyarakat. Poin bagusnya adalah jurnalis tersebut berani untuk menanyakan dan menggali hal-hal sensitif yang justru mungkin akan berdampak provokatif, contohnya “kritik dilayangkan kepada Kemenkes yang disebut lemah dalam mensosialisasi imunisasi MR. tanggapan anda?”, dan “justru lembaga lain yang bergerak lewat tokoh agama. Video cerahmahnya yang membolehkan vaksin MR yang mengandung babi menjadi viral pada Agustus lalu”. Pertanyaan tersebut seperti sedikit menyudutkan Kemenkes karena mengungkap dan memintai keterangan langsung mengenai kelemahan kemenkes yang membuat pertanyaan ini cukup berani.


Secara garis besar pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang sesuai dengan topik pembahasan dan tidak ada pertanyaan yang tidak penting untuk ditanyakan atau keluar dari topik. Sistem pertanyaannya juga merunut dan tidak loncat-loncat kepada pembahasan yang jauh dari apa yang sedang dibahas. Kebanyakan dari pertanyaan juga merupakan pertanyaan yang dilanjuti dari pernyataan narasumber sebelumnya, sehingga hasil jawabannya pun semakin detail. (CT)


Comments